FUNGSI
AL-QAWA’ID AL-FIQHIYYAH DAN
RELEVANSINYA DENGAN
USHUL
FIQH DAN FIQH
Bab I
Pendahuluan
A.
Latar belakang masalah.
Meluasnya wilayah kaum muslimin diberbagai
penjuru dunia dan kemajuan teknologi tak bisa dipungkiri, begitu juga dengan permasalahan yang
sering muncul bahkan malah semakin kompleks.
Tantangan-tantangan tersebut menuntut solusi untuk diselesaikan. Disinilah,
para ulama’ berperan penting sebagai penyampai dari sumber hukum islam yakni Al-Qur’an
dan Hadits. Akan tetapi, dua sumber hukum tersebut (Al-Qur’an dan Hadits) masih
terlalu general dan membutuhkan penafsiran-penafsiran yang tepat.
Oleh karena itu, diperlukan metode pemikiran yang mudah guna memecahkan persoalan masyarakat sehingga tidak
menjadi berlarut-larut tanpa kepastian hukum. Kemudian para ulama’ memunculkan al-Qawa’id
al-Fiqhiyah dimana metodologi tersebut diproduksi dari
perbuatan-perbuatan mukallaf yang telah ada (fiqh) hukumnya kemudian
diklasifikasikan akhirnya disimpulkan dan menjadi al-Qawa’id al-Fiqhiyah. Apabila sudah dianggap sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis (menjadi kaidah
yang mapan & akurat), maka para ulama’ menggunakan kaidah-kaidah tersebut
sebagai jawaban dari tantangan perkembangan masyarakat, baik dibidang sosial,
ekonomi, politik, budaya, dan sebagainya. Adapun manfaat dari al-Qawa’id
al-Fiqhiyah akan dipaparkan pada pembahasan berikut ini :
B.
Rumusan Masalah.
Untuk mempermudah pembahasan makalah ini, kami
susun rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Pengertian al-Qawa’id al-Fiqhiyyah.
2.
Fungsi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah.
3.
Relevansi antara al-Qawa’id al-Fiqhiyyah,
Fiqh, dan Ushul Fiqh.
Bab II
Pembahasan
A. Pengertian al-Qawa’id al-Fiqhiyyah.
“Al-Qawa’id” bentuk jamak dari kata “Qa’idah” (kaidah). Secara bahasa, Qa’idah bermakna asas, bangunan, aturan, undang-undang.[1] Lafadz “al-Qawaid” yang disandarkan pada lafadz “al-fiqh”
maka bermakna dasar-dasar atau asas-asas yang bertalian dengan masalah-masalah fiqh.
Menurut Imam Suyuthi dalam kitabnya al-Asybah wa al-nazhair, yakni :
حُكْمٌ كُلِّيٌّ يَنْطَبِقُ عَلَى جُزْئِيّاَتِهِ
“Hukum kulli
(menyeluruh, general) yang meliputi bagian-bagiannya.”[2]
Sejak dahulu sampai saat ini tidak ada ulama
yang mengingkari akan penting peranan al-qawaid al-fiqhiyah dalam kajian
ilmu syariah. Para ulama menghimpun sejumlah persoalan fiqh yang
ditempatkan pada suatu al-qawaid al-fiqhiyah. Apabila ada masalah fiqh
yang dapat dijangkau oleh suatu kaidah fiqh, masalah fiqh itu
ditempatkan di bawah kaidah fiqh tersebut. Melalui al-qawaid al-fiqhiyah
atau kaidah fiqh yang bersifat umum memberikan peluang bagi orang yang
melakukan studi terhadap fiqh untuk dapat menguasai fiqh dengan
lebih mudah dan tidak memakan waktu relatif lama.[3]
B. Fungsi al-Qawa’id al-Fiqhiyyah.
Menurut Hasbi as-Shiddieqy, berpendapat bahwa
keunggulan seorang faqih itu dilihat dari sejauh mana pendalamannya
terhadap kaidah-kaidah fiqh sebab kaidah-kaidah fiqh mengandung
rahasia dan hikmah.[4]
Diantara fungsi da ri al-qawa’id al-fiqhiyyah adalah sebagai berikut:
1.
Dapat
memahami dan mengetahui asas-asas umum fiqh, Karena terdapat saling keterkaitan antara
keduanya, dan juga mengetahui benang merah yang mewarnai fiqh.
2.
Memudahkan
dalam menetapkan
hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi, dengan cara menganalisis masalah
tersebut lalu dikelompokkan pada salah satu kaidah yang ada.
3.
Menjadikan arif saat mengimplementasikan fiqh
sesuai situasi dan kondisi untuk keadaan dan adat yang berbeda.
4.
Membuka rahasia-rahasia dan hikmah-hikmah yang
ada dalam ajaran hukum islam yang mendekati pada kebenaran, kebaikan, dan
keindahan.[5]
Fadlolan Musyaffa’ dalam bukunya “Islam
Agama Mudah” memberikan penjelasan terkait dengan fungsi dari kaidah fiqih
sebagai berikut:
1. Menginventarisir masalah-masalah yang ada untuk dicarikan
legitimasi hukumnya.
2. Menyatukan hukum-hukum atas beragam persoalan yang mempunyai
kesamaan illat.
3. Kaidah fiqih mampu memberikan informasi yang akurat di dalam
mengelaborasi hukum syar’i secara luas. Berbeda dengan kaidah ushul yang hanya berorientasi
kepada penggalian makna dan substansi nash.[6]
C. Relevansi antara al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, Fiqh, dan Ushul Fiqh.
Ketiga ilmu tersebut sangat berkaitan erat
tidak dipisahkan satu dengan yang lainnya, karena pada dasarnya fiqh itu
sendiri yang menjadi pokok pembicaraan al-qawa’id al-fiqhiyyah dan ushul
fiqh.
Karena fiqih tumbuh dari hasil istinbath (penggalian hukum), fatwa
dan ijtihad, maka diperlukan perangkat yang mengatur pencapaian produk-produk
fiqih, yang dikenal dengan ilmu ushul fiqh (legal theory) dan qowa’id
fiqhiyah (legal maxims).[7] Yang
pertama (ushul fiqh) dipahami oleh para yuris muslim sebagai bangunan
prinsip dan metodologi investigatif dengan aturan-aturan hukum praktis untuk
memperoleh sumber-sumber partikularnya. Sementara qawai’d fiqhiyah
lebih bercorak sebagai pedoman pengambilan keputusan hukum agama secara
praktis. Dan ini menentukan bentuk akhir keputusan hukum yang akan diambil jika
kondisi dan persyaratan yang melatar belakangi suatu masalah yang tadinya sudah
diputuskan telah mengalami perubahan.
Sebuah hukum fiqh tidak dapat
dikeluarkan dari dalil/sumbernya (nash al-Qur’an dan sunah) tanpa melalui ushul
fiqh.Ushul Fiqh adalah sebuah ilmu yg mengkaji dalil atau sumber hukum dan
metode penggalian (istinbath) hukum dari sumbernya. Dapat dikatakan bahwa ushul fiqh sebagai pengantar dari fiqh,
memberikan alat atau sarana kepada fiqh dalam merumuskan dan menemukan penilaian-penilaian syari’at serta peraturan-peraturannya dengan tepat.[8] Misalnya hukum wajib sholat dan zakat yang digali (istinbath) dari
ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 43 yang berbunyi :
واقيمواالصلاةوءاتواالزكوة ..
“dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat ...”
Firman Allah diatas berbentuk perintah yang
menurut ilmu ushul fiqh, perintah pada asalnya menunjukan wajib selama
tidak ada dalil yang merubah ketentuan tersebut ( الاصلفىالامرللوجوب).
Hukum
syara’ tentang perbuatan manusia (amaliah) yg digali dari dalil atau sumber
hukum itulah dinamakan fiqh. Jadi fiqh adalah produk operasional ushul
fiqh. Sebagaimana contoh dari dalil al-Qur’an di atas maka perintah
melakukan sholat dan menunaikan zakat hukumnya wajib jika tidak ada dalil lain
yang bisa menentukan hukum lain dari perintah tersebut. Inilah fiqh yang
harus dijalankan oleh setiap muslim secara umum.
Hukum
yang dihasilkan dari istinbath (penggalian) dari sumbernya (dalil) itu
sangat banyak sekali yang sulit untuk dihafal satu persatu. Maka untuk
memudahkannya, hukum-hukum yang berbeda-beda yang mempunyai kesamaan dihimpun
dalam suatu ketentuan umum atau kaidah. Ketentuan umum atau kaidah itulah yang
kemudian dinamakan al-qowa’id al-fiqhiyyah.
Hubungan antara al-qowa’id al-fiqhiyyah dengan fiqh sangat erat sekali karena al-qowa’id
al-fiqhiyyah dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam
mengetahui hukum perbuatan seorang mukalaf. Ini karena dalam menjalankan hukum fiqh
kadang-kadang mengalami kendala-kendala. Misalnya kewajiban shalat lima waktu
yang harus dikerjakan tepat pada waktunya. Kemudian seorang mukalaf dalam
menjalankan kewajibannya mendapat halangan, karena ia diancam bunuh jika mengerjakan shalat tepat
pada waktunya. Dalam kasus seperti ini, mukalaf tersebut boleh menunda sholat
dari waktunya karena jiwanya terancam. Hukum
boleh ini dapat ditetapkan lewat pendekatan al-qowa’id al-fiqhiyyah, yaitu dengan menggunakan qaidah :”الضرار يزال“ bahaya wajib dihilangkan.
Jika kita telaah lebih dalam, perbedaan antara kaidah ushul dan
kaidah fiqih dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Pengaruh
ushul fiqih bagi fiqih terletak pada orientasinya yang concern terhadap
penggalian nash atau teks yang ada. Ushul fiqh mengupas lebih jauh tentang
substansi yang terkandung di dalam kata dan kalimat, baik dari al-Qur’an atau
al-Hadits. Dari kajian inilah kita mengetahui bahwa misalnya, perintah
menunjukkan wajib dan larangan menunjukkan haram. Demikian juga dengan
pembagian wajib dan haram. Hasil ini kemudian dikaji lebih dalam oleh fiqih.
Apa yang dihasilkan oleh fiqih tersebut akan mempunyai implikasi secara
langsung terhadap seorang mukallaf untuk melaksanakan kewajiban secara umum (taklif
syar’i).
2.
Kaidah
ushul adalah kaidah universal yang pengaplikasiannya sangat umum. Adapun kaidah
fiqih merupakan panduan penentuan hukum mayoritas dari bagian-bagian yang lebih
spesifik dan dengan beberapa pengecualian (mustatsnayat).
3.
Kaidah
ushul merupakan perantara (dzariah) untuk mengkaji legitimasi hukum.
Sedangkan kaidah fikih adalah kumpulan dari hukum-hukum yang mempunyai kesamaan
illat.
4.
Kaidah
fikih terbentuk setelah furu’(cabang). Dengan kata lain, kaidah fikih merupakan
kumpulan beberapa furu’(cabang) yang mempunyai kesamaan illat.
Lain halnya dengan ushul, ia ada sebelum furu’. Bahkan furu’baru
bisa dihasilkan setelah melalui proses penggalian atas dali-dali yang ada (ushul).
5.
Konklusi
secara umum, ushul fikih dan kaidah fikih masing-masing mempunyai perbedaan dan
persamaan. Persamaan antara keduanya ialah sama-sama memiliki bagian-bagian
spesifik yang tingkatannya berada dibawahnya. Adapun perbedaan mendasar antara
keduanya, kaidah ushul adalah kaidah yang terperinci sebagai modal menggali
hukum. Sedangkan kaidah fikih berorientasi kepada pengkajian hukum-hukum syar’i
yang selanjutnya dikumpulkan menjadi satu kumpulan dengan masalah-masalah lain
yang mempunyai kesamaan illat.
Demikianlah hubungan antara fiqh, al-qawaid
al-fiqhiyah, ushul fiqh. Hukum syara’ (fiqh) adalah hukum
yang diistinbath dari nash al-Qur’an dan sunnah melalui pendekatan ushul fiqh
yang diantaranya menggunakan qawaid ushuliyah. Hukum syara’ (fiqh) yang
telah diistinbath tersebut diikat oleh al-qawaid al-fiqhiyah, dengan maksud
supaya lebih mudah difahami dan identifikasi.
Bab III
Penutup
I.
Simpulan.
Bahwasannya al-Qawaid al-Fiqhiyah, fiqh
dan ushul fiqh tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya
karena ketiga hukum ini selalu berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Al-Qawa’id
al-Fiqhiyyah terkadang selalu menopang fiqh dan ushul fiqh.
Ilmu fiqh mempunyai hubungan erat dengan al-qawa’id al- fiqhiyah
karena al-qawa’id al-fiqhiyah merupakan kunci berpikir dalam pengembangan
dan seleksi hukum fiqh. Dengan bantuan al-qawa’id al-fiqhiyah semakin tampak jelas semua permasalahan hukum baru yang
tumbuh ditengah-tengah masyarakat dapat ditampung oleh syari’at Islam dan
dengan mudah serta cepat dapat dipecahkan permasalahannya. Dari uraian di atas tampak bahwa al-qawaid fiqhiyyah mempunyai arti penting
bagi fiqh dan mempunyai peranan signifikan dalam bidang tasyri’.
II.
Penutup.
Demikianlah makalah yang dapat kami
persembahkan, Tentunya banyak kekurangan didalam penulisan makalah pada kali
ini, penulis mohonkan maaf beserta kritik dan saran yang konstruktif guna
perbaikan kami pada penulisan makalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
As-Shiddieqy, Hasbi, Pengantar Hukum Islam, cet
III, Jakarta: Bulan Bintang, 1963.
As-Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman, Al-Asybah wa
al-Nazhair fi Qowaid wa Furu’ Fiqh as-Syafi’i,cet. I, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah,1399 H / 1979
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007.
Mu’thi,
Fadlolan Musyaffa’, Islam Agama Mudah, Langitan : Syauqi Prees, 2007.
Syahar, Saidus, Asas-Asas Hukum Islam, Bandung:
Alumni , 1996.
Yunus, Mahmud
Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
[1]Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990,
hlm: 351.
[2]Jalaluddin Abd al-Rahmanal-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazhair fi Qowaid wa
Furu’ Fiqh as-Syafi’i,cet. I, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,1399 H /
1979, hlm: 5.
[4]Hasbi as-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam,cet III, Jakarta: Bulan
Bintang, 1963, hlm : 235.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar